Dalam lentingan nada jam weker yang berbunyi, ku terbangun dari keterlelapanku. Ku pun coba sadarkan diri dari mimpi-mimpi yang telah terangkai menjadi suatu cerita dalam satu malam. Jam menunjukkan pukul setengah lima. Ku langsung bergegas bangun dari peraduanku yang semalam tlah menjadi tempat untuk menguraikan mimipi-mimpiku. Sebuah peraduan yang selalu menjadi tempat naunganku saat aku terlelap dalam buih-buih mimpi.
Ku coba mulai rapikan selimut, bantal guling, serta seprai yang sudah berantakan, entah apa yang kuperbuat semalam semuanya begitu tampak berantakan, mungkin saat aku terbuai oleh mimpi, aku telah menjadi seorang tokoh utama dalam cerita-cerita fiktif atau non-fiktif, yach bisa jadi aku menjadi seorang samurai, ksatria, ataupun seorang pencuri yang tertangkap oleh orang-orang kampung kemudian dihajar ramer-rame hingga babak belur, siapa tahu.
Dan aku selalu bingung, entah kenapa, setiap aku bermimpi, dan ketika aku terbangun, selalu saja ada bagian-bagian dari mimpi itu yang hilang tak terbanyang, mungkin yang ku ingat hanya sebagian dari alur cerita mimpi yang sudah benar-benar terekam oleh pikiranku. Tak ada sesuatu pun yang dapat mengingatkanku pada semua bagian dari mimpi-mimpi itu, bahkan dari dulu hingga sekarang.
Kata orang mimpi adalah bunga tidur, tapi buat apa kita bermimpi apabila itu hanya menjadi sebuah angan yang tak menjadi nyata, ketika bermimpi seharusnya kita benar-benar berusaha untuk ngelakuin apapun yang kita bisa agar mimpi-mimpi itu benar-benar menjadi suatu kenyataan. Tapi mungkin saja itu bisa, jika itu adalah mimpi yang baik, tapi ketika kita bermimpi buruk, apa yang kita bisa?.. apa kita hanya bisa membuangnya dari sebuah angan....
Semua telah benar-benar kurapikan, ku pun bergegas mengambil air untuk berwudhu, saatnya untuk menghadap sang Khalik. Bagiku ini semua kulakukan bukan hanya sebagai sebuah rutinitas ataupun sebagai kewajiban, ini adalah sesuatu yang benar-benar kulakukan hanya untuk mengingatkanku kepada Siapa yang tlah menciptakanku?..yach memang aku terlahir dari didikan seorang orang tua yang benar-benar mengerti akan sebuah agama, terdidik hingga sampai umurku sekarang yang sudah mencapai angka 20an.
Mungkin kalian belum mengenal siapa aku, aku adalah anak berumur hampir setengah baya, ehmmm ya...seperti yang kubilang tadi sekitar 2 tahun yang lalu umurku sudah menginjak kepala dua. Kini aku sedang merantau ke kota lain hanya untuk mengejar sebuah impian, yach hanya sebuah impian yang belum pasti dan kuyakini apakah itu semua memang benar-benar sebuah impian yang akan membawaku ke sebuah jalan masa depanku. Yaaaa..aku menjadi seperti ini hanya karna sebuah impian yang masih belum pasti dan masih ragu-ragu untuk kujalani, . sudah lama aku bertanya pada diriku, apa sebenarnya impianku, hingga sampai sekarang pun aku juga masih belum bisa menemukan sebuah jawaban yang pasti.
Aku terlahir di desa kecil yang kaya akan hasil bumi, yang setiap musim selalu melimpahkan berjuta tanaman hasil bumi yang melimpah ruah. Hampir setiap hari aku pergi kesawah membantu kedua orang tuaku hanya untuk merawat setiap buliran-buliran padi hingga kelak menjadi sesuap nasi yang bisa memakmurkan setiap orang.
Setiap minggu aku selalu berangkat pagi-pagi untuk meluangkan waktu libur dipagi hari, aku selalu berlari menyusuri pematang sawah untuk mengejar ayahku yang sedari pagi-pagi buta sudah mulai menyusuri setiap jengkal sawah yang melintang rentang. Setiap aku berlari, aku selalu menyempatkan diri untuk menatap langit biru yang luas membentang, melihat betapa indahnya langit biru itu, entah unsur apa yang telah menyusun semua itu hingga berikan warna alami yang dapat berikan kesegaran dalam setiap pelupuk mata mahkluk hidup yang menatapnya. ”Hari ini langit menampakkan diri dengan begitu sempurna, padahal satu-dua hari yang lalu awan selalu hadir untuk mengejeknya, memberikan tetesan-tetesan air untuk membasai setiap permukaan bumi” gumamku.
Selain langit biru membentang, tampak terlihat gunung yang menjulang tinggi menanmpakkan betapa perkasanya dan kokohnya dia menancapkan kaki-kakinya dalam perut bumi. Tampak di sekitar, terlihat pohon-pohon yang sedang malambaikan ranting-ranting dahannya untuk berikan semangat pada sang angin agar tetap terus berhembus tiada henti. Kicauan burung iringi setiap hembusannnya, menjadikan setiap nada suaranya menjadi sebuah alunan musik dalam konser teater kehidupan alam.
”Betapa indahnya alam yang asri ini, kelak suatu saat aku tak kan pernah pergi dari desa ini, karna aku ingin tetap tinggal agar setiap pagi bisa kupandangi alam ini tiada henti”.
Lama berjalan ku menyusuri setiap pematang sawah, akhirnya ku telah sampai di ujung sawah yang merupakan tanah warisan dari kakek sejak zaman kolonial belanda, dia perjuangkan hingga tiap tetesan-tetesan keringatnya menjadi darah yang suburkan tanah ibu pertiwi, bahkan hingga saat ini pun masih diperjuangkan oleh kedua orang tuaku dari perebutan orang-orang kota, yang sejak satu tahun lalu mereka begitu ingin membeli tanah ini untuk dijadikan hotel berbintang lima agar kelak bisa menjadi tempat penginapan para konglomerat-konglomerat yang ingin menikmati indahnya desa kami. Dan sejak saat itu aku begitu sangat membenci mereka...